Maka bertanyalah pada Faiza…….

Seorang kawan mama (nyai alias neneknya Faiza) suatu hari berkunjung ke rumah. Dilihatnya Faiza yang gesit ke sana kemari dengan permainannya sendiri. Faiza pun ditanya, abinya mana?

Faiza dengan polosnya menjawab di Jakarta…..

dan tanpa menunggu pertanyaan lebih lanjut, dia terus nyerocos dengan impiannya…..
bahwa dia akan ke Jakarta, bersama alifmousa, bersama Nda…..
setelah di Jakarta nanti mau berenang.
“berenang di mana?”
“di water boom, gelanggang samudra, ancol….”
“mau ke seaworld juga….”

tentunya dia tidak bisa bilang sesempurna itu, tetapi dengan gerakannya dan mimiknya yang menggambarkan tentang apa yang pernah dilihatnya di televisi.

Pernyataan Faiza ini sedikit mengiriskanku…..
Dan terbersit doa dalam hati, mudah-mudahan impiannya itu segera tercapai…. Amin

Faiza memang suka berenang. Waktu usianya baru 3 bulan saja. ketika kami ajak ke tanjung tinggi untuk bermain di tepi pantai, dia tanpa ragu tanpa sungkan, gembira ria bermain di pantai. Memercikkan air laut ke wajahnya yang polos. Tanpa kenal takut, tanpa kenal letih…. Dia bermain sangat bersemangat. Seolah bisa menaklukkan laut. Saya pun terhanyut dengan kegembiraannya. Wajahnya berseri merona.

Hingga setelah berapa saat berada di dalam air laut, kulihat badannya mulai membiru. Mungkin kedinginan, atau mungkin belum bisa terlalu lama berendam dalam air. Seketika aku langsung membawanya naik. Tidak tega rasanya membuyarkan kebahagiaannya. Tapi apa mau dikata? Daripada dia nanti malah sakit…..

Sudahlah nak….berhentilah sejenak yah?

Abi cari uang…..

Akhir-akhir ini Faiza sering bertanya: “Abi mana?”

Tidak mudah memang bagi anak-anak untuk memahami tentang orang tua. Biasanya mereka tahunya ada bapak ada ibu. Kalau anak saya ada bunda, ada abi. Apalagi biasanya dia bermain bersama abi. Yah, semua permainan. Dari nyanyi-nyanyi, sampai pantomim-pantomiman.

Hingga suatu saat, abinya jarang dilihat. Paling banter yah, ngobrol di telepon. Itupun dengan bahasa yang hanya dimengertinya. Faiza memang paling doyan membuat bahasa sendiri. Kalau sedang bersenandung, yah lagunya sendiri. Meski awalnya adalah lagu anak-anak atau lagu yang sedang top di tangga lagu, tapi pada pertengahan hingga akhir, lagu itu berevolusi sesuai hasratnya. Bukan hanya nada, aransemen, yang paling aneh adalah perubahan drastis pada lirik. Bila diperhatikan secara seksama, lagunya itu seperti lagu dengan bahasa Jepang. Ha ha ha. Mungkin karena dia sering menonton film animasi Jepang yang di awal dan ending film selalu menampilkan lagu-lagu versi Jepang asli.

Itulah Faiza. Sama atau berbeda dengan anak lain, saya tidak tahu persis. Yang pasti dia adalah anak saya yang sangat lucu di mata saya. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataannya sering menyentil imajinasi kami orangtuanya akan dunia khayal kanak-kanak. Ada yang tidak kami mengerti, tetapi setelah ditelaah lebih dalam barulah kami mengerti.

Seperti pertanyaan tentang “abi mana, Nda?”

Bundanya bingung harus menjawab apa. Dijawablah sama bundanya bahwa abi di Jakarta.

“Di Jakarta, apa nda?” Maksudnya bikin apa barangkali.

“Di Jakarta abi cari uang….” jawab bundanya.

“Abi cari uang….. uangnya jatuh…..”

Bunda bingung, kok…..

Ah iya, dalam pikiran Faiza apa yang dicari adalah sesuatu yang jatuh. Seperti mencari mainannya yang jatuh dari tempat tidur. Begitu juga dengan uang, mungkin dipikirnya jatuh di Jakarta. Ha ha ha…..

Aya’ aya’ wae’……

Aransemen Lagu Faiza

tepuk-tepuk tangan
suka suka
tangan di kepala
tangan dipinggang
loncat yang tinggi
satu dua tiga
menirukan burung
terbang di udara


Faiza juga suka dengan lagu ini, Tapi dia juga suka mengarang lagu. Jadi ketika menyanyikan lagu ini, ketika sampai di lirik kepala, dia melanjutkannya dengan lagu karangannya sendiri.

“…suka-suka, tangan di kepala, rambut, hidung, telinga, tangan, mulut,…” dan anggota tubuh yang lainnya.

Kalau kita menyuruhnya menyanyi dengan lagu yang sesuai, dia malah marah. Tidak mau mengikuti lirik lagu yang benar. Faiza malah menyuruh kita untuk mengikuti lirik lagu yang dikarang-karangnya sendiri. Menyuruh kita juga untuk memegang anggota tubuh yang disebutnya.

Duh, anak ini memang menggemaskan sekali. Saya berada di antara ingin menyuruhnya bernyanyi dengan lagu yang sesuai, tetapi merasa lucu juga karena nyanyiannya dan gayanya yang innocent. Dia merasa benar dengan nyanyiannya.

Bukan hanya lagu tepuk tangan ini yang dikarangnya. Semua lagu mengalami aransemen baru bahkan komposisi yang didekonstruksinya sendiri. Di usianya yang beranjak 3 tahun, dengan bahasanya yang masih acak adul, dengan gaya-gerakan tubuhnya menari tarian kanak-kanak, dengan ekspresi wajahnya yang dianggapnya sudah seperti penyanyi profesional, menjadi sangat lucu di mataku. Benar bahwa anak adalah Qurratuaini alias penyejuk mata orang tuanya. Syukur Alhamdulillah… Dalam kesusahan hidup ini, ada hiburan pelipur lara yang paling indah di dunia ini.

Itulah ceriadini. Keceriaan masa dini Faiza dan Alifmousa ku sirnakan segala duka.

ceria faiza sejenak redup

Awal tahun 2010 menjadi awal yang berat bagi Faiza. Malam tahun baru tentu saja dia menjalani malam seperti biasanya: tidur pada waktunya.

Tetapi bukan perkara yang mudah memang meninabobokkannya. Sebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah semarak malam tahun baru. Meski sedang berada di Tanjungpandan Belitung, tepatnya di kampung Pangkallalang, banyak juga warga memeriahkan malam penghujung tahun 2009 dengan membakar petasan dan kembang api. Jadilah sulit menidurkannya.Suara-suara mercon yang mampir di telinganya membuatnya sulit tidur dengan nyenyak.

Alhasil, keesokan harinya, Faiza demam. Keceriaannya sejenak redup. Waktu saya
menelponya dia bilang: “Abi…Faiza pusing…demam, Bi…

Suaranya lirih. Aku sebagai Bapak yang selama ini mendengar cerianya, langsung ikut merasa sedih. Ikut merasa deritanya itu. Bercampur juga dengan perasaan kangen yang luar biasa.

Faiza….semoga cepat sembuh yah? Abi mau dengar lagi ceriamu…
Ya Allah, sembuhkanlah Faiza. Sehatkanlah jiwa dan raganya selalu. Amin Ya Rabb.

ceria faiza di hari lahirnya

Tanggal 20 bulan April 2007, tepat pukul 07:38 wibb – Faiza keluar dari rahim bundanya. Berkisar 15 menit kemudian, dia menatap kamera seolah bergaya minta difoto.

Dan inilah posenya, 15 menit setelah pertama kalinya menatap dunia yang akan dijalaninya ini. Seorang perempuan mungil yang belum diberi nama. Pada hari jumat yang suci, melalui serangkaian kesakitan pada Bundanya. Dibantu dokter dan suster. Juga dorongan yang kuat untuk hidup di dunia – ini dibuktikan dari tendangan-tendangan kakinya di rahim. Ia keluar dan memekikkan tangis. Tangis yang menyentak kesadaranku bahwa kini aku telah menjadi seorang bapak.

Segala kesakitan yang dialami oleh Bundanya selama beberapa bulan, dan lebih khusus beberapa hari sebelumnya, kini berbuah kebahagiaan.

Semua yang ada di ruang bersalin Klinik Bersalin “Sinar Bunda” merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Semua menyambut Faiza dengan keceriaan. Ada lagi seorang anggota baru dalam keluarga. Nyai (panggilan Faiza kepada neneknya), Ombai (panggilan kepada saudara Kakeknya), turut bahagia. Entah apa yang ada dibenak mereka aku tidak tahu persis. Yang pasti, tampak diraut wajah mereka adalah kebahagiaan. Lukisan kegembiraan itu tidak mampu didusta.

Mereka yang menjaga dan menyambut Faiza lahir. Dari kiri Mamah Ika (tantenya, Adek Sisca), Ica (sepupunya), Mamah Indot (Ayuk Yanti), Manda (sepupu, kakak Ica), Nyai (neneknya, Hj. Herminawati).

tepuk-tepuk tangan

tepuktangan-alif

tepuk-tepuk tangan
suka suka
tangan di kepala
tangan di pinggang
loncat yang tinggi
satu dua tiga
menirukan burung
terbang di udara

lagu ini paling senang didengar oleh ALIFMOUSA. Saat dia sedang merajuk tidak mau dipakaikan baju malah menangis, begitu lagu ini dinyanyikan dia langsung ceria. meniru-niru gerakan tapuk tangan dan sebagainya.

AMBILKAN BULAN BU

AMBILKAN BULAN BU

ambilkan bulan, bu
ambilkan bulan, bu
yang slalu bersinar di langit

di langit bulan benderang
cah’yanya sampai ke bintang

ambilkan bulan, bu
untuk menerangi
tidurku yang lelap di malam gelap

Pulau Buaya dan Bermain Bola

Di Pantai Lido, Sorong, Papua Barat. Sebuah tempat rekreasi yang murah meriah bagi penduduk Kota Sorong. Yah, hampir samalah kira-kira dengan Pantai Losari di Makassar, Pantai Panjang di Bengkulu, Pantai Tanjung Pendam di Belitung, Pantai Ancol di Jakarta, Pantai Kuta di Bali, dan masih banyak pantai-pantai lainnya di bumi Nusantara ini. Yang menarik di pantai ini adalah, pemandangan yang sangat jarang terjadi di pantai-pantai lain. Selain bisa menikmati keindahan warna-warni matahari di ujung dunia, terlihat juga beberapa pulau kecil dan besar, yang tata letaknya seperti disusun agar tidak overlap dari pandangan kita. Ada pulau Dom, Pulau Sop, dan Pulau Buaya. Pulau Buaya dinamakan begitu bukan karena di pulau itu banyak buaya, seperti penamaan pulau Komodo. Bukan pula karena dipulau itu banyak “buaya darat”, atau “buaya-buaya” pemakan “cicak”. Tetapi karena pulau itu tampak dari Pantai Lido sangat mirip dengan buaya besar yang lagi berendam atau berenang, separuh badannya terendam air laut. Kemiripan yang sangat mirip inilah maka tersebutlah ia Pulau Buaya.

Pada siang hingga sore selepas sekolah atau di hari libur, saya dan teman-teman kerap bermain bola di pantai itu. Tentunya saat air laut tengah surut. Bila air pasang setengah, kami bermain papan selancar. Yah, dimirip-miripin dengan surfing di pantai Kuta lah.

Dan seperti banyak pantai lainnya di Indonesia, pantai Lido ini juga tidak aman dari bermacam kotoran yang menghiasinya. Terutama beling yang kerapkali melukai kaki kami saat sedang asyik-asyiknya beraksi bak Ricky Yakob, sebuah nama yang sangat akrab ditelinga saya. Sering disebut-sebut saat bermain sepakbola dan dimana saja. Nama itu selalu terdengar, meski saya tidak tahu persis orangnya seperti apa, dan gaya bermain bolanya juga seperti apa. Maklumlah, televisi di Kota Sorong masih sangat langka dan jam menonton televisi bagi anak-anak masih sangat kurang. Apalagi ada perbedaan waktu 2 jam lebih cepat daripada waktu di wilayah Indonesia bagian barat. Saat disiarkan sebuah pertandingan jam 7 malam WIBB, maka di Sorong sudah jam 9. Waktunya bagi bocah-bocah untuk tidur. Saya juga mengira Ricky Yakob adala pemain sepakbola asal Papua, mungkin karena namanya banyak miripnya dengan nama baptis orang Papua. Belakangan saya baru tahu kalau beliau itu orang Medan.

Selain Ricky Yakob, nama lain yang sangat akrab di telinga adalah Maradona. Terutama gol “tangan tuhan”nya. Saya sendiri waktu itu tidak pernah sedetikpun menyaksikan aksi Maradona itu. Setelah belasan tahun kemudian baru saya bisa menyaksikannya di televisi swasta di acara cuplikan pertandingan tempo doloe. Tetapi faktanya, aksi Maradona itu sangat fenomenal dan dibicarakan di mana saja. Bukan hanya dibicarakan, tetapi menjadi kebiasaan bagi kami saat bermain bola. Bila bisa menipu lawan dengan melakukan handsball ala Maradona, maka kami merasa sudah sangat jago, sekelas dengan Sang Legenda sepakbola asal Argentina itu.

Kembali tentang pantai yang dihiasi aneka sampah. Dipinggir Pantai Lido, ada sebuah rumah sakit umum yang sampahnya banyak yang tercecer, lalu mengalir di kali dan membawanya ke pantai. Sampah-sampah seperti botol infus, kain pembalut luka, botol-botol obat, dan sejenisnya, selain mengotori pantai, aroma tak sedapnya pun turut meracuni pernafasan kami. Tetapi bukanlah kanak-kanak kalau kami menganalisanya kemudian mengambil keputusan menjauh dari bermain di tempat itu. Hasrat bermain yang sangat tinggi membuat kami tidak memperhitungkan resiko yang akan kami dapatkan. Menyesal kemudian adalah bahasa sehari-hari yang kami dapatkan.

Suatu kali saat asyik bermain bola, saya terkena beling di tumit kaki kanan. Cukup dalam dan parah luka itu. Saya dilarikan ke rumah sakit umum untuk segera dilakukan operasi. Saya tidak terlalu mengerti apa yang dilakukan orang-orang di rumah sakit. Apakah disedot? atau dijahit, atau diapakan? saya tidak mengerti. Yang saya rasakan saat itu hanyalah sakit dan sakit yang sangat sakit. Pada saat itu saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, bahwa larangan orang tua seharusnya didengar dan dipatuhi. Memang sebelumnya saya dilarang terlalu sering ke pantai karena banyak sampah berbahaya di situ. Namun nafsu bermain bola lebih dominan memanggil, maka larangan itu tak diindahkan.

Jadilah saya terhenti sejenak bermain di pantai. Hanya bisa menatap Pulau mirip buaya yang kalau berenang nggak pernah nyampai, kalau berendam nggak pernah kelelep.

HARI INI HARI IBU

HARI INI HARI IBU??

Menulis tentang IBU seperti berenang

dengan airmata sendiri. Belum juga

menulis, titik-titiknya sudah hiasi pipi.

Nah, tuh khan?
Belum juga apaapa…

Tulisan tentang IBU, adalah tulisan yang

tak pernah selesai…. kecuali saya mampu

menulis dalam kubangan danau airmataku…