Di Pantai Lido, Sorong, Papua Barat. Sebuah tempat rekreasi yang murah meriah bagi penduduk Kota Sorong. Yah, hampir samalah kira-kira dengan Pantai Losari di Makassar, Pantai Panjang di Bengkulu, Pantai Tanjung Pendam di Belitung, Pantai Ancol di Jakarta, Pantai Kuta di Bali, dan masih banyak pantai-pantai lainnya di bumi Nusantara ini. Yang menarik di pantai ini adalah, pemandangan yang sangat jarang terjadi di pantai-pantai lain. Selain bisa menikmati keindahan warna-warni matahari di ujung dunia, terlihat juga beberapa pulau kecil dan besar, yang tata letaknya seperti disusun agar tidak overlap dari pandangan kita. Ada pulau Dom, Pulau Sop, dan Pulau Buaya. Pulau Buaya dinamakan begitu bukan karena di pulau itu banyak buaya, seperti penamaan pulau Komodo. Bukan pula karena dipulau itu banyak “buaya darat”, atau “buaya-buaya” pemakan “cicak”. Tetapi karena pulau itu tampak dari Pantai Lido sangat mirip dengan buaya besar yang lagi berendam atau berenang, separuh badannya terendam air laut. Kemiripan yang sangat mirip inilah maka tersebutlah ia Pulau Buaya.
Pada siang hingga sore selepas sekolah atau di hari libur, saya dan teman-teman kerap bermain bola di pantai itu. Tentunya saat air laut tengah surut. Bila air pasang setengah, kami bermain papan selancar. Yah, dimirip-miripin dengan surfing di pantai Kuta lah.
Dan seperti banyak pantai lainnya di Indonesia, pantai Lido ini juga tidak aman dari bermacam kotoran yang menghiasinya. Terutama beling yang kerapkali melukai kaki kami saat sedang asyik-asyiknya beraksi bak Ricky Yakob, sebuah nama yang sangat akrab ditelinga saya. Sering disebut-sebut saat bermain sepakbola dan dimana saja. Nama itu selalu terdengar, meski saya tidak tahu persis orangnya seperti apa, dan gaya bermain bolanya juga seperti apa. Maklumlah, televisi di Kota Sorong masih sangat langka dan jam menonton televisi bagi anak-anak masih sangat kurang. Apalagi ada perbedaan waktu 2 jam lebih cepat daripada waktu di wilayah Indonesia bagian barat. Saat disiarkan sebuah pertandingan jam 7 malam WIBB, maka di Sorong sudah jam 9. Waktunya bagi bocah-bocah untuk tidur. Saya juga mengira Ricky Yakob adala pemain sepakbola asal Papua, mungkin karena namanya banyak miripnya dengan nama baptis orang Papua. Belakangan saya baru tahu kalau beliau itu orang Medan.
Selain Ricky Yakob, nama lain yang sangat akrab di telinga adalah Maradona. Terutama gol “tangan tuhan”nya. Saya sendiri waktu itu tidak pernah sedetikpun menyaksikan aksi Maradona itu. Setelah belasan tahun kemudian baru saya bisa menyaksikannya di televisi swasta di acara cuplikan pertandingan tempo doloe. Tetapi faktanya, aksi Maradona itu sangat fenomenal dan dibicarakan di mana saja. Bukan hanya dibicarakan, tetapi menjadi kebiasaan bagi kami saat bermain bola. Bila bisa menipu lawan dengan melakukan handsball ala Maradona, maka kami merasa sudah sangat jago, sekelas dengan Sang Legenda sepakbola asal Argentina itu.
Kembali tentang pantai yang dihiasi aneka sampah. Dipinggir Pantai Lido, ada sebuah rumah sakit umum yang sampahnya banyak yang tercecer, lalu mengalir di kali dan membawanya ke pantai. Sampah-sampah seperti botol infus, kain pembalut luka, botol-botol obat, dan sejenisnya, selain mengotori pantai, aroma tak sedapnya pun turut meracuni pernafasan kami. Tetapi bukanlah kanak-kanak kalau kami menganalisanya kemudian mengambil keputusan menjauh dari bermain di tempat itu. Hasrat bermain yang sangat tinggi membuat kami tidak memperhitungkan resiko yang akan kami dapatkan. Menyesal kemudian adalah bahasa sehari-hari yang kami dapatkan.
Suatu kali saat asyik bermain bola, saya terkena beling di tumit kaki kanan. Cukup dalam dan parah luka itu. Saya dilarikan ke rumah sakit umum untuk segera dilakukan operasi. Saya tidak terlalu mengerti apa yang dilakukan orang-orang di rumah sakit. Apakah disedot? atau dijahit, atau diapakan? saya tidak mengerti. Yang saya rasakan saat itu hanyalah sakit dan sakit yang sangat sakit. Pada saat itu saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, bahwa larangan orang tua seharusnya didengar dan dipatuhi. Memang sebelumnya saya dilarang terlalu sering ke pantai karena banyak sampah berbahaya di situ. Namun nafsu bermain bola lebih dominan memanggil, maka larangan itu tak diindahkan.
Jadilah saya terhenti sejenak bermain di pantai. Hanya bisa menatap Pulau mirip buaya yang kalau berenang nggak pernah nyampai, kalau berendam nggak pernah kelelep.
0.000000
0.000000